Penerapan Teknologi Tata Air, Peluang, Kendala dan Prospek (Dr. Ir. Sigit Supadmo Arief, M.Eng.) |
keterangan : mengutip sebagian dari makalah |
PENGANTAR Indonesia
saat ini sedang memasuki masa transisi menuju perubahan keadaan sosial-politik
yang sangat mendasar. Demikian pula dalam bidang pengembangan sumberdaya
air. Dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru pada tahun pertengahan
tahun 1998, proses pembaharuan kebijakan di bidang sumberdaya air telah
dimulai pada abir tahun yang sama. Sekarang proses pembaharuan tersebut
telah mencapai tahapan penyusunan kembali sumber-sumber hukum perundangan
untuk mengatur kebijakan-kebijakan pengembangan sumberdaya air secara
menyeluruh dengan mengacu pada agenda reformasi yang telah dicanangkan. Pembaharuan
kebijakan tersebut tentu saja akan memberikan peluang dan prospek yang
sangat besar kepada daerah untuk mengembangkan sernua potensi yang ada
untuk menuju kehidupan masyarakat daerah yang lebih baik sesuai dengan
cita-cita reformasi. Meskipun demikian, beberapa kendala tentu saja
tetap ada mengingat bahwa sistem pemerintahan orde baru telah sangat
lama memerintah sehingga tidak mudah untuk merubah sistem pemerintahan
yang ada. Makalah
ini akan mencoba mengajak para peserta untuk berdiskusi tentang penerapan
teknologi tata air, peluang, kendala dan prospeknya dalam nuansa paradigma
baru pembangunan.Pokok bahasan akan memakai hampiran sistem dan sedikit
tinjauan kesejarahan dengan beberapa contoh bahasan dalam manajemen
irigasi. TAKRIF
DAN HAMPIRAN
Kata teknologi banyak ditakrifkan orang dengan berbagai macam makna
dan pengertian. Gie (1984) telah mengumpulkan lebih dari 60 buah takrif
kata teknologi. Dalam hubungannya dengan kehidupan manusia, terdapat
satu takrif tentang teknologi seperti yang diberikan oleh Theodorson
dan Theodorson (1970) dalam Gie (1984), yaitu dikatakan: teknologi
merupakan sktu bagian dari kebudayaan, termasuk pengetahuan dan alat-alat
yang dipakai manusia untuk mengolah lingkungan fisisnya agar mencapai
tujuan-tujuan prakfis yang diinginkan. Untuk
kata tata air tidak ditemukan suatu takrif yang baku. Tetapi saya sendiri
mengacu pada takrif pada upaya pengaturan pemanfaatan atau penggunaan
air secara sepadan. Menurut
Koentjaraningrat (1984), kata budaya berasal dad kata Sanskerta Buddhayah, ialah bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti "budi" atau "akal". Selanjutnya
dikatakan bahwa sebagai konsep, kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan
gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta
keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Takrif tersebut merupakan
salah satu di antara lebih dari 179 buah takrif lain yang pernah dirumuskan.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebutkan sebagai culture dari kata
Latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan. Arti kebudayaan kemudian
berkembang menjadi arti culture sebagai segala daya dan usaha manusia
untuk mengelola alam. Bentuk sehari-hari dari kegiatan manusia dalam bermasyarakat sesuai dengan budayanya disebut sebagai wujud kebudayaan. Selanjutnya menurut Koentjaraningrat (1984), terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu : 1
. Wujud pikiran, ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturanperaturan dan sebagainya. Wujud
pertama dari kebudayaan ini bersifat abstrak, berada pada alam pikiran
masing-masing anggota masyarakat di tempat kebudayaan itu hidup. 2.
Wujud kelakuan atau wujud sosial, merupakan suatu komplek aktifitas
kelakuan berpola manusia atau masyarakat. Sistem sosial terdiri atas
aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta
bergaul atau dengan yang lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola
tertentu berdasarkan adat kelakuan. Sistem sosial ini bersifat konkrit. 3.
Wujud fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas
perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat. Dari
beberapa takrif tersebut dapat dikatakan bahwa teknologi tata air selalu
mengacu pada budaya manusia dengan tiga wujud kebudayaannya untuk mengatur
pemanfaatan air sebagai sumberdaya secara sepadan yang sesuai dengan
lingkungannya baik secara fisikal maupun lingkungan strategisnya. Takrif
ini menuntun kita dalam pemahaman suatu hampiran sistem, yaitu bahwa
manajemen sumberdaya air termasuk tata air di dalamnya juga merupakan
suatu sistem sosio-kultural masyarakat. Sistem
sosio-kultural masyarakat ini terdiri atas tiga subsistem, yaitu : (i)
subsistem budaya atau pola pikir, (5) subsistem sosial-ekonomi, (iii)
subsistem artifak (dengan teknologi termasuk di dalamnya). Secara teoritis
dapat dikatakan bahwa suatu sistem akan berkeseimbangan dengan lingkungannya,
baik lingkungan strategis maupun lingkungan ekosistemnya. Manajemen
sumberdaya air sebagai sistem soisokultural masyarakat ini digambarkan
dalarn Gambar 1. Dari Gambar 1 dapat dimengerti bahwa suatu teknologi
akan dipakai secara sepadan oleh masyarakat penggunanya apabila dapat
compatible dengan seluruh unsur sosio-kultural masyrakatnya, dalam bentuk
pola pikir, institusi maupun sistem ekonominya. Karena
sumberdaya air merupakan suatu common-pool resources maka manajemen
sumberdaya air juga dikenal sebagai sistem pemerintahan polisentris
(polycentric governance). Suatu sistem dikatakan polisentris apabila
proses pengaturan dalam sistem terdapat beberapa ketumpang tindihan
dari beberapa arena atau senter yang masing-masing mempunyai autoritas
dan tanggungjawab pengaturan sendirisendiri. Masing-masing arena atau
senter ini terdapat dalam beberapa aras, dimulai dari masyarakat lokal,
sampai pemerintah pusat yang membentuk suatu aturan baik formal maupun
informal guna menjalankan suatu tindakan pengaturan. Dalarn hal ini
dikatakan bahwa pemerintahan ditakrifkan sebagai cara suatu kelompok
masyarakat untuk mengelola kegiatan-kegiatan potik, ekonomi, maupun
sosialnya secara utuh (McGinnis,. ........................ |
|