Penyusunan Rencana Strategis serta Akuntabilitas Pengembangan dan Pengelolaaan Sumberdaya Air (M. Fuad Bustomi Zen, ST. MT.) |
keterangan : mengutip sebagian dari makalah |
BAB
I PENDAHULUAN 1.1. Globalisasi, multi krisis dan desentralisasi
Memasuki abad ke 21 merupakan tahapan yang sangat penting bagi
perjalanan bangsa dan negara Indonesia. Pada tahapan tersebut kita dihadapkan
pada berbagai perubahan dan tantangan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Secara internal pada kurun waktu tersebut terjadi multi
krisis yang berkepanjangan serta berbagai perubahan dalam tatanan kehidupan
bernegara. Sedangkan secara eksternal kita bersama bangsa-bangsa lain
memasuki era globalisasi.
Era globalisasi ditandai dengan keterbukaan dan persaingan yang
semakin kompetitif sebagai konsekuensi liberalisasi perekonomian dunia
yang melandasi persetujuan GATT dan dilanjutkan dengan kesepakatan mengenai
aturan dan agenda pelaksanaannya melalui pembentukan WTO dan berbagai
perjanjian internasional dan regional lainnya, seperti AFTA, NAFTA,
APEC, Pasar Bebas Eropa dan sebagainya.
Globalisasi telah melahirkan peluang maupun tantangan dalam kehidupan
antar bangsa, karena keterbukaan perekonomian global akan meningkatkan
arus perdagangan, jasa dan investasi dunia. Setiap bangsa memiliki peluang
untuk memanfaatkannya. Wajarlah jika bangsa-bangsa menghadapinya dengan
berbagai persiapan-persiapan yang dimilikinya baik dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, sumberdaya manusia, manajemen dan sistem
kelembagaan, dan sistem
informasi, yang semua itu mengarah pada peningkatan daya saing perekonomian.
Apabila perekonomian suatu negara tidak mempunyai daya saing maka tidak
akan mampu memanfaatkan peluang-peluang bisnis global, dan negara itu
akan tersisih dari arena persaingan dan akan mengalami kemunduran. Secara
internal kita masih menyisakan dampak krisis ekonomi ataupun multi krisis
lainnya. Krisis yang terjadi di negeri ini diawali dengan semakin merosotnya
nilai tukar rupiah dibandingkan mata uang lainnya. Secara bersamaan
tuntutan reformasi yang diteriakkan mahasiswa dan berbagai kalangan
semakin gencar dilakukan. Krisis bertambah parah dengan adanya kerusuhan
di beberapa kota. Tahapan berikutnya terjadi perubahan pemegang kekuasaan
setelah pengunduran diri Presiden Suharto 21 Mei 1998, pucuk pimpinan
negara beralih ke Habibie dan dilanjutkan ke Presiden Abdurrahman Wahid.
Pada tahun pertama kepemimpinan Abdurrahman Wahid ini dampak multi krisis
masih dirasakan.
Reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan telah mulai dirintis
sejak kepemimpinan Presiden Habibie dengan menelurkan beberapa kebijakan
antara lain UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan
Pusat dan Daerah serta
UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
serta berbagai kebijakan lainnya.
Dari berbagai situasi baik eksternal maupun internal seperti
diuraikan di atas mengajak kita untuk mengambil pelajaran dan menentukan
pilihan, kita akan jatuh dan larut dalam krisis yang berkepanjangan
atau kita bangkit dari krisis dan berdiri tegap menghadapi berbagai
tantangan globalisasi di hadapan kita. 1.2. Konsekuensi Kebijakan Desentralisasi
Pembangunan daerah dengan pendekatan desentralisasi sudah menjadi
kebijaksanaan pemerintah dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan
propinsi sebagai daerah otonom.
Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan terjadi kompetisi
yang sehat untuk membangun dan memajukan daerah masing-masing serta
menyejahterakan dan meningkatkan derajad kehidupan masyarakat. Segenap
aparatur daerah bersama-sama seluruh komponen masyarakat daerah dituntut
mampu mendayagunakan segala potensi yang ada agar secara bertahap mampu
membiayai urusan rumah tangga daerah dan meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat.
Otonomi daerah sebagaimana menjadi kebijakan pemerintah, adalah
hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri. Hak tersebut diperoleh melalui penyerahan pemerintahan dari
pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah tingkat atasnya (propinsi
untuk otonomi kabupaten atau kota), sesuai dengan keadaan, kemampuan
dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Kebijakan desentralisasi selalu
dikaitkan dengan penilaian yang menyeluruh atas keadaan, kemampuan,
dan kebutuhan daerah untuk menerima suatu hak otonomi. Sasaran dari
kebijakan otonomi adalah
pemberian pelayanan publik yang lebih memuaskan, pengakomodasian partisipasi
masyarakat, pengurangan beban pemerintah pusat, penumbuhan kemandirian
dan kedewasaan daerah, serta penyusunan program yang lebih sesuai dengan
kebutuhan daerah.
Sebenarnya secara konstitusional, strategi desentralisasi pemerintahan
telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah. Namun setelah lebih
dari dua dasa warsa dikeluarkan, pelaksanaannya belum juga terealisasi.
Meskipun pada tahun 1992 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1992 tentang Penyelenggaraan otonomi daerah dengan titik berat pada
Daerah Tingkat II, realisasinya jauh dari kebijakan, titik berat otonomi
di daerah tingkat II tetap tidak berubah. Peranan yang besar dalam penyelenggaraan
pemerintah di daerah masih berada di Daerah Tingkat I dan pemerintahan
pusat. Berikutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1995
dan Kepmendagri Nomor 105 tahun 1994 upaya pembenahan otonomi dilakukan
melalui prakarsa pemerintahan pusat untuk menyerahkan urusan-urusan
yang selama ini telah dijalankan di daerah tingkat II oleh aparat pusat
(instansi vertikal departemen teknis) dan aparat pemerintah daerah tingkat
I. Dalam implementasinya digunakan strategi otonomi birokrasi dengan
teknik proyek percontohan. Terdapat
beberapa konsekuensi logis berkaitan kebijakan otonomi daerah yang perlu
dibenahi antara lain di bidang keuangan, perencanaan pembangunan, organisasi
pemerintahan dan kepegawaian / sumberdaya Manusia.
Dalam bidang keuangan, diperlukan suatu strategi untuk memanfaatkan
dana pembangunan dari pemerintah pusat serta optimasi sumber-sumber
pendapatan asli daerah (PAD).
Di bidang perencanaan pembangunan, perlu pemberian peranan dan
kewenangan yang lebih besar terhadap lembaga perencanaan daerah (BAPPEDA)
untuk menyusun rencana-rencana pembangunan yang lebih sesuai dengan
kebutuhan masyarakat di daerah. Pendekatan perencanaan yang partisipatif
serta perencanaan dari bawah (bottom
up planning) perlu ditata kembali. Kegiatan-kegiatan penelitian
dan pengembangan dalam rangka memperoleh berbagai masukan bagi penyusunan
rencana pembangunan perlu digalakkan, sehingga prioritas pembangunan
benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan menunjang perkembangan
sosial ekonomi daerah yang bersangkutan.
Di bidang organisasi pemerintahan, diperlukan suatu evaluasi
yang lengkap mengenai keberadaan lembaga-lembaga pusat dan daerah yang
bertanggungjawab langsung terhadap penyelenggaraan pembangunan daerah.
Dengan demikian perlu adanya penggabungan (merger), penciutan, dan penghapusan
unit-unit yang kewenangan pokoknya telah didesentralisasikan ataupun
keberadaannya kurang mendukung efisiensi maupun efektifitas dari kebijakan
desentralisasi.
Di bidang kepegawaian atau sumberdaya manusia, berkaitan dengan
kebijakan dalam bidang organisasi akan terjadi realokasi sumberdaya
manusia secara proporsional. Secara bersamaan kualitas sumberdaya manusia
dalam bidang perencanaan daerah dan pengelolaan keuangan perlu ditingkatkan
secara bertahap dan sistematis. 1.3.
Kesiapan Sumberdaya Manusia Menghadapi
berbagai tantangan internal ataupun eksternal diperlukan adanya peningkatan
profesionalisme aparatur negara (daerah). Dewasa ini profesionalisme
aparatur negara masih dalam tataran yang perlu ditingkatkan lagi. Hal
tersebut disebabkan masih terbatasnya sumberdaya manusia yang andal
dan masih belum meratanya distribusi sumberdaya profesional dalam formasi
aparatur negara. Upaya-upaya dalam rangka meningkatkan profesionalisme
aparatur negara perlu dikembangkan dalam porsi yang lebih besar lagi
untuk menghasilkan aparatur daerah yang mempunyai kemampuan profesional,
sikap mental dan pengabdian yang tinggi. Dengan demikian diharapkan
aparatur pemerintah mempunyai kemampuan dan daya kreativitas untuk membangun
daerah dan melakukan penggalian sumber-sumber perekonomian daerah sebagai
tulang punggung pembiayaan pembangunan dalam otonomi daerah. Pada gilirannya
dicapai kesejahteraan masyarakat daerah otonomi. Salah
satu kemampuan yang harus segera ditingkatkan adalah dalam berpikir
dan bertindak secara strategis yang dituangkan dalam perencanaan strategis
daerah. Mengenal berbagai potensi yang ada merupakan prasyarat penting
sebelum melakukan perencanaan strategis. Pengenalan potensi dilakukan
dalam rangka mencari kombinasi berbagai potensi yang ada di daerah tersebut
menyangkut sumberdaya alam, sumberdaya manusia, pasar, faktor sosial,
ekonomi, politik dan kebudayaan. Optimasi dari berbagai faktor tersebut
sangat penting untuk menyusun rencana program unggulan yang pada gilirannya
diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 1.4.
Relevansi Perencanaan Strategis Daerah Dalam
rangka menghadapi berbagai perubahan berkaitan dengan globalisasi, perubahan
tatanan pemerintahan, dan otonomi daerah, birokrasi pemerintah daerah
dituntut mampu mentransformasikan semangat wirausaha (entrepreunership
spirit) ke dalam sektor publik. Semangat ini menghendaki agar sistem
birokrasi pemerintahan mampu secara optimal mengelola sumber-sumber
ekonomi sehingga mampu memberdayakan sektor publik (empowerment
public sector). Penguatan sektor publik merupakan syarat penting
yang harus dipenuhi dalam rangka menghadapi berbagai tantangan
dan perubahan pada era globalisasi. Semangat
wirausaha birokrasi juga dimaksudkan untuk melakukan perubahan dalam
bertindak dan berpikir bagi birokrat di daerah untuk tidak melulu menyandarkan
kepada anggaran pendapatan negara yang bersumber kepada pajak, akan
tetapi berusaha untuk mewujudkan dalam kebijakan yang pada gilirannya
memperkuat sektor publik. Dengan demikian diperlukan penataan kembali
peran birokrasi agar dapat merangsang pertumbuhan sektor swasta dan
masyarakat. Dalam
rangka mengoperasionalkan potensi
yang ada di daerah pada era desentralisasi, penggunaan konsep perencanaan
strategis sudah merupakan suatu kebutuhan. Oleh karena itu penguasaan
konsep perencanaan strategis tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan
fungsi dan peran yang diemban organisasi pemerintah daerah. Esensi utama
yang melekat bagi perencana strategis adalah kemampuan mengalokasikan
sumberdaya yang dimiliki dalam situasi yang selalu mengalami perubahan. Proses
perencanaan strategis akan bermanfaat hanya jika proses perencanaan
strategis mampu menggerakkan orang untuk berpikir
dan bertindak secara strategis. Perencanaan strategis bukan merupakan
tujuan, akan tetapi perencanaan strategis semata-mata kumpulan konsep
yang membantu para pemimpin dan pengambil keputusan untuk membuat keputusan
penting dan melakukan tindakan penting. Apabila suatu proses perencanaan
strategis menimbulkan kendala dalam berpikir dan bertindak strategis,
maka yang harus dikesampingkan adalah konsep perencanaannya bukan pemikiran
dan tindakan strategisnya. Dengan kata lain dapat ditegaskan bahwa berpikir
dan bertindak strategis jauh lebih penting daripada pendekatan perencanaan
strategis apapun. 1.5.
Pasca Implementasi Perencanaan
strategis menghasilkan kebijaksanaan dan program yang diimplementasikan
dalam berbagai kegiatan, yang selanjutnya dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik, stakeholder dan pemberi mandat. Derajad pertanggungjawaban instansi
pemerintah dalam pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan
dan sasaran yang telah ditetapkan dikenal dengan istilah akuntabilitas
kinerja instansi pemerintah.
Secara spesifik akuntabilitas kinerja didefinisikan sebagai perwujudan
kewajiban suatu organisasi / instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan
keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai
tujuan-tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban
secara periodik. Akuntabilitas diwujudkan sebagai salah satu pilar penyelenggaraan
pemerintahan yang baik (good governance),
disamping demokratisasi, transparansi dan partisipasi masyarakat. .................................. |
|